Senin, 07 Desember 2015

PNS ngapain saja di masjid

kajian dzuhur di sela-sela istirahat PNS

Setelah beraktifitas di meja kerja sekitar 4,5 jam sejak presensi pagi, maka tibalah adzan dzuhur berkumandang. Memang sederhana, cuman panggilan solat saja. Namun lambaian tangan sang mu'adzdzin jauh menerobos ke ruang hati seorang mukmin yang dalam dadanya masih menyala lilin-lilin keimanan. Berangkat apa tidak. Makan dulu apa solat dulu. Atasan atau Sang Pencipta Atasan. Rapat kerja apa rapatkan shaf, dan seterusnya.

Bagi mereka yang memutuskan untuk berangkat, maka rasa berat itu hanya pada langkah pertama saja, yaitu saat badan beranjak dari komputer dan berkas pekerjaan di meja. Selebihnya, pada langkah kedua dan seterusnya, apalagi berbarengan dengan rekan-rekan lain di lift, sama-sama menuju masjid, maka semua saling menguatkan. Tiada penghalang rasanya. Tetapi bagi mereka yang memutuskan untuk menunda, maka beban itu akan semakin terasa berat bahkan hanya menghadapi satu alasan saja: kekhawatiran. Khawatir dipanggil atasan, khawatir makan siang kehabisan, khawatir sepatu tertukar, dan khawatir-khawatir lainnya yang masih berupa persediaan dalam kantong angan-angan.

Di masjid, latihan pengendalian diri dimulai bahkan sejak bertemu dengan teman. Ada orang yang dari mulai keluar ruangan, selama di masjid, sampai kembali ke ruangan tiada yg didapat selain ngobrol sana sini. Begitulah, yang berangkat ke masjidpun belum tentu bisa merasakan manisnya ibadah. Tergantung dari niat dan kampuannya mengkondisikan diri dalam situasi (apatah lagi yang tidak berangkat ke masjid). Ada latihan persatuan, kebersamaan, kekompakan, keharmonisan, dan kepatuhan dalam shalat berjama'ah. Nikmat rasanya begitu salam terakhir shalat, melihat ke belakang ada puluhan shaf melakukan gerakan yang sama, pada posisi yang sama.

Masjid di waktu dzuhur, meski sangat singkat, namun merupakan majelis pembinaan mental yang seharusnya efektif bagi seorang PNS, manakala dimanfaatkan dengan baik. Singkat tapi bermakna adalah lebih baik daripada banyak tapi mubazir. Belum lagi ditambah interaksi dengan beberapa lembar Al Qur'an, membuat hati semakin tenang. Bagi sebagian orang nampaknya hal ini sudah menjadi agenda jasmani dan rohani yang tak boleh luput dalam kehidupan siangnya di kantor.

Saya menyaksikan satu teladan, saat itu beliau masih menjabat eselon IV, waktu ba'da dzuhur tak akan dilewatkan tanpa membawa mushaf kecil Al Qur'an. 4 tahun kemudian, bertemu kembali setelah mutasi dan promosi beliau menjadi eselon III, beliau masih dengan kebiasaan lamanya. Dan sekarang, beliau diamanahi jabatan eselon II, tak ada yang berubah dari dirinya kecuali uban yang kian bertebaran di rambutnya. Sungguh luar biasa bagi saya, sosok teladan birokrat yang tak pernah jauh dari masjid dan Al Qur'an dalam kesederhanaannya menjadi penguat dalam berkontribusi dan berprestasi di meja kerjanya. Beliau adalah Bapak Dwijo Muryono, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Soekarno-Hatta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar