kajian dzuhur di sela-sela istirahat PNS |
Setelah beraktifitas di meja kerja sekitar 4,5 jam sejak presensi
pagi, maka tibalah adzan dzuhur berkumandang. Memang sederhana, cuman panggilan
solat saja. Namun lambaian tangan sang mu'adzdzin jauh menerobos ke ruang hati
seorang mukmin yang dalam dadanya masih menyala lilin-lilin keimanan. Berangkat
apa tidak. Makan dulu apa solat dulu. Atasan atau Sang Pencipta Atasan. Rapat
kerja apa rapatkan shaf, dan seterusnya.
Bagi mereka yang memutuskan untuk berangkat, maka rasa berat
itu hanya pada langkah pertama saja, yaitu saat badan beranjak dari komputer
dan berkas pekerjaan di meja. Selebihnya, pada langkah kedua dan seterusnya,
apalagi berbarengan dengan rekan-rekan lain di lift, sama-sama menuju masjid,
maka semua saling menguatkan. Tiada penghalang rasanya. Tetapi bagi mereka yang
memutuskan untuk menunda, maka beban itu akan semakin terasa berat bahkan hanya
menghadapi satu alasan saja: kekhawatiran. Khawatir dipanggil atasan, khawatir
makan siang kehabisan, khawatir sepatu tertukar, dan khawatir-khawatir lainnya
yang masih berupa persediaan dalam kantong angan-angan.
Di masjid, latihan pengendalian diri dimulai bahkan sejak
bertemu dengan teman. Ada orang yang dari mulai keluar ruangan, selama di
masjid, sampai kembali ke ruangan tiada yg didapat selain ngobrol sana sini.
Begitulah, yang berangkat ke masjidpun belum tentu bisa merasakan manisnya
ibadah. Tergantung dari niat dan kampuannya mengkondisikan diri dalam situasi (apatah lagi yang tidak berangkat ke masjid).
Ada latihan persatuan, kebersamaan, kekompakan, keharmonisan, dan kepatuhan
dalam shalat berjama'ah. Nikmat rasanya begitu salam terakhir shalat, melihat
ke belakang ada puluhan shaf melakukan gerakan yang sama, pada posisi yang
sama.
Masjid di waktu dzuhur, meski sangat singkat, namun
merupakan majelis pembinaan mental yang seharusnya efektif bagi seorang PNS,
manakala dimanfaatkan dengan baik. Singkat tapi bermakna adalah lebih baik
daripada banyak tapi mubazir. Belum lagi ditambah interaksi dengan beberapa
lembar Al Qur'an, membuat hati semakin tenang. Bagi sebagian orang nampaknya
hal ini sudah menjadi agenda jasmani dan rohani yang tak boleh luput dalam
kehidupan siangnya di kantor.
Saya menyaksikan satu teladan, saat itu beliau masih
menjabat eselon IV, waktu ba'da dzuhur tak akan dilewatkan tanpa membawa mushaf
kecil Al Qur'an. 4 tahun kemudian, bertemu kembali setelah mutasi dan promosi
beliau menjadi eselon III, beliau masih dengan kebiasaan lamanya. Dan sekarang,
beliau diamanahi jabatan eselon II, tak ada yang berubah dari dirinya kecuali
uban yang kian bertebaran di rambutnya. Sungguh luar biasa bagi saya, sosok
teladan birokrat yang tak pernah jauh dari masjid dan Al Qur'an dalam
kesederhanaannya menjadi penguat dalam berkontribusi dan berprestasi di meja
kerjanya. Beliau adalah Bapak Dwijo Muryono, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea
dan Cukai Soekarno-Hatta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar